Rabu, 12 Desember 2012

Teruntuk Suamiku,Maafkan Aku (kisah Nyata)


 


Ini adalah kisah nyata di kehidupanku. Seorang suami yg kucintai yang kini telah tiada..Begitu besar pengorbanan seorang suamiku pada keluargakuBegitu tulus kasih sayangnya untukku dan anakku. Suamiku adalah seorang pekerja keras. Dia membangun segala yang ada di keluarga ini dari nol besar hingga menjadi seperti saat ini. Sesuatu yang kami rasa sudah lebih dari cukup.
Aku merasa sangat berdosa ketika teringat suamiku pulang bekerja dan aku menyambutnya dengan amarah, tak kuberikan secangkir teh hangat melainkan kuberikan segenggam luapan amarah.

Selalu kukatakan pada dia bahwa dia tak peduli padaku, tak mengerti aku, dan selalu saja sibuk dengan pekerjaannya.

Tapi kini aku tahu.

Semua ucapanku selama ini salah, dan hanya menjadi penyesalanku karena dia telah tiada.

Temannya mengatakan padaku sepeninggal kepergiannya.
Bahwa dia selalu membanggakan aku dan anakku di depan rekan kerjanya.

Dia berkata,
“Setiap kali kami ajak dia makan siang,mas anwar jarang sekali ikut kalau tidak penting sekali,alasannya slalu tak jelas. Dan lain waktu aku sempat menanyakan kenapa dia jarang sekali mau makan siang, dia menjawab,

“Aku belum melihat istriku makan siang dan aku belum melihat anakku minum susu dengan riang.lalu bagaimana aku bisa makan siang.”

“Saat itu tertegun, aku salut pada suamimu. Dia sosok yang sangat sayang pada keluarganya. Suamimu bukan saja orang yang sangat sayang pada keluarga,tapi suamimu adalah sosok pemimpin yang hebat. Selalu mampu memberikan solusi-solusi jitu pada perusahaan.”

Aku menahan air mataku karena aku tak ingin menangis di depan rekan kerja suamiku. Aku sedih karena saat ini aku sudah kehilangan sosok yang hebat.

Teringat akan amarahku pada suamiku, aku selalu mengatakan dia slalu menyibukkan diri pada pekerjaan, dia tak pernah peduli pada anak kita. Namun itu semua salah. Sepeninggal suamiku. Aku menemukan dokumen-dokumen pekerjaannya. Dan aku tak kuasa menahan tangis membaca di tiap lembar di sebuah buku catatan kecil di tumpukan dokumen itu, yang salah satunya berbunyi,

“Perusahaan kecil CV. Anwar Sejahtera di bangun atas keringat yang tak pernah kurasa. Kuharap nanti bukan lagi CV. Anwar Sejahtera, melainkan akan di teruskan oleh putra kesayanganku dengan nama PT. Syahril Anwar Sejahtera. Maaf nak, ayah tidak bisa memberikanmu sebuah kasih sayang berupa belaian. Tapi cukuplah ibumu yang memberikan kelembutan kasih sayang secara langsung. Ayah ingin lakukan seperti ibumu. Tapi kamu adalah laki-laki. Kamu harus kuat. Dan kamu harus menjadi laki-laki hebat. Dan ayah rasa, kasih sayang yang lebih tepat ayah berikan adalah kasih sayang berupa ilmu dan pelajaran. Maaf ayah agak keras padamu nak. Tapi kamulah laki-laki. Sosok yang akan menjadi pemimpin,sosok yang harus kuat menahan terpaan angin dari manapun. Dan ayah yakin kamu dapat menjadi seperti itu.”

Membaca itu, benar2 baru kusadari, betapa suamiku menyayangi putraku, betapa dia mempersiapkan masa depan putraku sedari dini. Betapa dia memikirkan jalan untuk kebaikan anak kita.

Setiap suamiku pulang kerja. Dia selalu mengatakan,
“Ibu capek? istirahat dulu saja”

Dengan kasar kukatakan,
“Ya jelas aku capek, semua pekerjaan rumah aku kerjakan. Urus anak, urus cucian, masak, ayah tahunya ya pulang datang bersih. titik.”

Sungguh, bagaimana perasaan suamiku saat itu. Tapi dia hanya diam saja. Sembari tersenyum dan pergi ke dapur membuat teh atau kopi hangat sendiri. Padahal kusadari. Beban dia sebagai kepala rumah tangga jauh lebih berat di banding aku. Pekerjaannya jika salah pasti sering di maki-maki pelanggan. Tidak kenal panas ataupun hujan dia jalani pekerjaannya dengan penuh ikhlas.

Suamiku meninggalkanku setelah terkena serangan jantung di ruang kerjanya, tepat setelah aku menelponnya dan memaki-makinya. Sungguh aku berdosa. Selama hidupnya tak pernah aku tahu bahwa dia mengidap penyakit jantung. Hanya setelah sepeninggalnya aku tahu dari pegawainya yang sering mengantarnya ke klinik spesialis jantung yang murah di kota kami. Pegawai tersebut bercerita kepadaku bahwa sempat dia menanyakan pada suamiku,

“ Pak kenapa cari klinik yang termurah? saya rasa bapak bisa berobat di tempat yg lebih mahal dan lebih memiliki pelayanan yang baik dan standar pengobatan yang lebih baik pula”

Dan suamiku menjawab, “Tak usahlah terlalu mahal. Aku cukup saja aku ingin tahu seberapa lama aku dapat bertahan. Tidak lebih. Dan aku tak mau memotong tabungan untuk hari depan anakku dan keluargaku. Aku tak ingin gara-gara jantungku yang rusak ini mereka menjadi kesusahan. Dan jangan sampai istriku tahu aku mengidap penyakit jantung. Aku takut istriku menyayangiku karena iba. Aku ingin rasa sayang yang tulus dan ikhlas.”

Tuhan..Maafkan hamba Tuhan, hamba tak mampu menjadi istri yang baik. Hamba tak sempat memberikan rasa sayang yang pantas untuk suami hamba yang dengan tulus menyayangi keluarga ini. Aku malu pada diriku. Hanya tangis dan penyesalan yang kini ada.

Saya menulis ini sebagai renungan kita bersama. Agar kesalahan yang saya lakukan tidak di lakukan oleh wanita-wanita yang lain. Karena penyesalan yang datang di akhir tak berguna apa-apa. Hanyalah penyesalan dan tak merubah apa-apa.

Banggalah pada suamimu yang senantiasa meneteskan keringatnya hingga lupa membasuhnya dan mengering tanpa dia sadari.

Banggalah pada suamimu,karena ucapan itu adalah pemberian yang paling mudah dan paling indah jika suamimu mendengarnya.

Sambut kepulangannya di rumah dengan senyum dan sapaan hangat. Kecup keningnya agar dia merasakan ketenangan setelah menahan beban berat di luar sana.

Sambutlah dengan penuh rasa tulus ikhlas untuk menyayangi suamimu.
Selagi dia kembali dalam keadaan dapat membuka mata lebar-lebar.
Dan bukan kembali sembari memejamkan mata tuk selamanya.

Teruntuk suamiku.
Maafkan aku sayang.
Terlambat sudah kata ini ku ucapkan.
Aku janji pada diriku sendiri teruntukmu.
Putramu ini akan kubesarkan seperti caramu.
Putra kita ini akan menjadi sosok yang sepertimu.
Aku bangga padamu,aku sayang padamu...

Istrimu
by : ummu-asma

www.bulancahaya9.blogspot.com

Selasa, 11 Desember 2012

Kisah Raja Yang Memiliki Empat Istri


Konon kabarnya ada seorang raja yang memiliki empat orang istri. Istri keempat adalah istri yang paling disayangi dan dicintainya. Dia sangat tergila-gila kepadanya, apapun dilakukannya untuk membahagiakan istri keempat ini.
Istri ketiga juga disayanginya luar biasa, tetapi sang raja merasa dia tidak begitu setia, mungkin suatu saat dia akan berpaling kepada orang lain.
Istri kedua pun memiliki tempat khusus di hatinya, kepadanyalah sang raja suka mencurahkan isi hati dan mengadukan masalah-masalah pelik yang dihadapinya. Wanita ini seorang pendengar yang baik dan suka memberikan jalan keluar yang cukup menyenangkan hati sang raja.
Istri pertama, wanita malang yang tidak dihiraukan oleh sang raja, bahkan sekedar haknya pun tidak dipenuhi oleh sang raja, padahal sang istri sangat mencintai dan setia kepadanya bahkan berperan penting dalam melanggengkan kekuasaan sang raja.
Saatnya pun tiba, sang raja jatuh sakit. Dia merasa bahwa ajalnya segera tiba, lalu berkata-kata dalam hatinya, “Aku memiliki empat orang istri, aku tidak ingin dimakamkan sendirian.”
Raja pun memanggil dan bertanya kepada istrinya yang keempat, “Engkau tahu bahwa aku lebih mencintai dan menyayangimu daripada istri-istriku yang lain, seluruh permintaan dan kehendakmu selalu aku penuhi. Sekarang sudikah engkau menemaniku dalam kuburanku?
Dia menjawab, “Mustahil!” lalu berlalu tanpa berkata-kata sepatah pun.
Raja kemudian memanggil istri ketiga, “Bagaimanapun aku selalu mencintai dan menyayangimu, oleh karena itu sudikah engkau menemaniku dalam kuburanku?”
Si istri menjawab, “Tentu tidak bisa, hidup ini begitu indah, jika paduka meninggal saya masih bisa menikah lagi dengan laki-laki lain.”
Raja tidak bisa berbuat apa-apa, lalu dia pun memanggil istri kedua kemudian berkata, “Engkaulah yang selalu menjadi tempatku mengadu dan berbagi, engkau selalu memberikan yang terbaik kepadaku, kali ini sudikah engkau menemaniku dalam kuburku?”
Sang istri menjawab, “Maaf paduka, saya hanya dapat mengantar baginda sampai ke pusara.”
Rasa kecewa sang raja bertumpang-tindih mendengar jawaban demi jawaban para istrinya. Dia mulai berputus asa ketika tiba-tiba dari kejauhan sebuah suara berkata-kata, “Saya akan menemani paduka dalam pusara baginda, saya akan setia menemani baginda di mana saja baginda berada!” Sang raja pun memandang kepada pemilik suara. Ya istri pertamanya, wanita kurus kering yang merana karena diterlantarkan dan disia-siakan oleh suaminya sendiri. Maka sang raja pun tidak dapat menyembunyikan rasa sesalnya, dalam duka dia berkata, “Seharusnya saya memberikan perhatian lebih kepadamu daripada istri-istriku yang lain. Seandainya umurku panjang aku akan lebih memperhatikanmu lebih daripada mereka.”
Pembaca tercinta, sesungguhnya masing-masing kita memiliki empat pasangan hidup, istri keempat ialah fisik kita sendiri. Bagaimanapun kita merawatnya namun adalah pasti, kegagahan dan keindahan fisik itu pergi begitu kita meninggal dunia.
Istri ketiga ialah harta benda yang kita miliki, begitu kita meninggal ia pergi dan berpindah tangan kepada orang lain.
Istri kedua ialah keluarga, handai tolan, dan kawan. Betapa pun setia dan pengorbanan yang mereka berikan, jika kita telah tiada jangan berharap lebih dari sekedar mengantarkan kita hingga ke pusara.
Istri pertama yang sering tersia-sia dan teraniaya ialah amal sholeh kita. Kita lupa mencukupkan kebutuhannya, lupa merawatnya, kita terlantarkan demi memuaskan syahwat kita, mengejar harta kekayaan, dan menyenangkan sanak saudara serta kawan-kawan. Padahal amal kita itulah satu-satunya yang akan setia menemani kita kelak dalam pusara. Duhai saudara, jika hari ini amal kita dirupakan menjadi manusia, bagaimanakah gerangan raut dan perawakannya? Apakah seperti tubuh ringkih yang kurus tidak terurus ataukah sosok yang padat berisi, cantik dan terawatt?
Akhirnya kita berdo’a kepada Allah semoga kita dianugerahi husnul khothimah.
[Diketik ulang dari majalah QIBLATI edisi 1, thn VII, rubric Nadi Kehidupan.]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...