AIR KALI yang MENYERAMKAN
Tercemar Sejak Hulu
RODERICK ADRIAN MOZES/KOMPAS IMAGES Limbah campuran, antara limbah pabrik tekstil dan rumah tangga mengalir ke Sungai Citarum di wilayah Majalaya, Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/3/2011).
Bandung, — Sungai Citarum, sumber air minum bagi 25 juta warga Jawa Barat dan DKI Jakarta serta pemasok tenaga listrik bagi Pulau Jawa dan Bali, kini tercemar sejumlah bahan kimia berbahaya, terutama logam berat.
Pencemaran dan sedimentasi sudah terjadi sejak hulu sungai di Situ Cisanti, di kaki Gunung Wayang Bandung Selatan dan mengalir sepanjang 269 kilometer hingga muara sungai di pantai Muara Merdeka Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Padahal, sebelum mengalir ke Laut Jawa, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat ini juga digunakan untuk Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) di Waduk Saguling (kapasitas 700-1.400 Megawatt), Waduk Cirata (1.008 MW) dan Jatiluhur (187 MW). Ketiga PLTA itu memasok listrik untuk jaringan interkoneksi Pulau Jawa-Bali yang dihuni hampir separuh dari penduduk negeri ini. Air Citarum yang tercemar juga digunakan untuk perikanan dan irigasi bagi 420.000 hektar lahan pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Purwakarta, dan lumbung padi nasional Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu.
Ekspedisi Kompas 21-31 Maret yang menyusuri sungai mulai dari Situ Cisanti hingga Muara Gembong, mencatat, perusakan sungai berlangsung sejak berpuluh tahun lalu dan dibiarkan begitu saja melintasi alur peradaban dan sejarah bangsa. Secara kasat mata, hanya 700 meter dari Situ Cisanti air Citarum tidak dijadikan tempat pembuangan limbah kotoran sapi. Sepintas air yang langsung keluar dari tujuh mata air di hulu itu terlihat bening.
Setelah itu, sungai ini melewati perkampungan padat Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung yang sebagian besar bermata pencaharian petani sayur dan peternak sapi perah. “Semua peternak sapi perah di desa ini membuang kotoran sapinya langsung ke sungai,” ujar Agus Darajat, tokoh masyarakat yang juga Ketua Kertasari Bersatu sambil menunjuk Citarum yang lebarnya di titik ini hanya dua meter.
Akan tetapi, menurut hasil pemantauan kualitas air Perum Jasa Tirta II, air yang keluar dari Outlet Cisanti sudah mengandung H2S dan chemical oxygen demand (COD) melebihi ambang baku mutu.
Alih Fungsi Lahan
Tokoh masyarakat hulu Citarum Dede Jauhari mengamati, semua itu akibat alih fungsi lahan dari yang seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air, menjadi daerah pertanian semusim seperti sayuran. Hampir semua pertanian sayur (wortel, kol, kentang, dan daun bawang) di hulu Citarum menggunakan pestisida dan pupuk kimia.
Di sentra industri tekstil Kecamatan Majalaya, 20 km dari Kertasari, limbah industri dengan berbagai karakteristik, seperti warna pekat, bau menyengat, temperatur dan keasaman yang tinggi langsung dibuang ke Citarum.
Di Kecamatan Dayeuhkolot hingga Soreang, 40-60 km dari hulu, selain pencemaran industri, juga ditambah dengan sampah domestik yang dibuang dari permukiman padat di sepanjang sungai. Kiriman sampah dari Kota Bandung yang terbawa anak sungai juga turut menjadi bagian dari pencemaran di Sungai Citarum.
Di cekungan Bandung ini, sejumlah anak sungai bermuara ke Citarum. Yakni Sungai Cikijing, Citarik, Cikeruh, Cidurian, Cikapundung, Cisangkuy, Citepus dan Cibeureum yang dijadikan tempat pembuangan limbah dan sampah oleh semua pihak. Hasil evaluasi pemantauan kualitas air oleh Perum Jasa Tirta II ditemukan zat kimia Zn, Fe, NH3-N, NO2N,H2S, Mn, BOD, COD dan oksigen terlarut melebihi baku mutu air.
“Sampah dari rumah tangga lebih mudah terurai bila dibandingkan dengan limbah industri yang membahayakan,” ujar Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Iwan Setiawan. Pencemaran dan sedimentasi terus berlangsung ke tengah, sekitar Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur, hingga ke muara di Laut Jawa.
General Manajer Indonesia Power unit bisnis pembangkit Saguling Erry Wibowo membenarkan, air Citarum yang masuk ke waduk Saguling sudah tercemar bahan kimia, terutama H2S. Tidak hanya petani, Waduk Saguling pun menjadi korban pencemaran berbagai jenis limbah yang dibuang ke Citarum, baik limbah domestik, sampah rumah tangga, rumah sakit maupun industri.
Pencemaran itu sudah berlangsung sejak waduk ini dioperasikan 1985 lalu dan hingga ini tidak upaya mengendalikan dari pembuangnya di hulu Citarum. “Kami khawatir, kasus minamata terjadi di Citarum karena hingga kini belum ada pengendalilan,” ujar Erry Wibowo. Air dari Saguling terus mengalir (cascade) ke Waduk Cirata dan Jatiluhur.
Menurut hasil penelitian Pusat Lembaga Sumber Daya Alam Lingkungan Unpad Bandung, Indonesia Power, Pembangkit Jawa Bali dan Peru Jasa Tirta, air di ketiga waduk itu tidak layak (buruk) bagi air baku minum, perikanan dan peternakan.
Air Minum Jakarta
Dari Waduk Jatiluhur air mengalir ke hilir melalui Bendung Curug yang membagi air ke irigasi Tarum Barat dan Tarum Timur. Tarum Barat mengalirkan air untuk bahan baku air minum kebutuhan 10 juta warga DKI Jakarta yang dikelola PT Aetra Air dan PT Palyja.
Menurut CitaCitarum, lembaga mitra Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mengkoordinir Integrated Citarum Water Resources Management Invesment Program (ICWRMP-Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Wilayah Sungai Citarum), saat ini PT Aetra Air Jakarta mengolah 8.500 liter per detik air baku untuk memasok kebutuhan warga Jakarta atau setara 22 juta meter kubik per bulan. Sementara PT Palyja mengolah 6.000 liter per detik air baku juga untuk kebutuhan warga Ibu Kota.
Di kawasan Muara Gembong, Tim ekspedisi Kompas melihat, air Citarum berwarna coklat muda langsung masuk ke Laut Jawa. Menurut laporan Perum Jasa Tirta II, pada bulan Desember air Citarum di Muara Gembong mengandung Fe, NO2N dan H2S lebih dari baku mutu.
“Tahun 2009 pernah seluruh ikan mati dan mengambang di sungai dan ribuan penduduk berbondong-bondong turun ke Citarum,” ungkap Suryana (35), Sekretaris Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi, 5 kilometer dari muara sungai Citarum. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengakui, di balik perannya yang strategis, Citarum selain dihadapkan pada pencemaran, seringkali menyebabkan banjir di musim hujan terutama di Bandung Selatan. Namun tahun 2010, banjir juga melanda Purwakarta dan Kota Karawang. Luas daerah aliran Citarum (DAS) tercatat 6.614 kilometer persegi yang dihuni 15,3 juta penduduk.
Instansi yang khusus menangani Sungai Citarum adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) di bawah Kementerian PU. Namun BBWS lebih ke pemeliharaan sungai seperti mengeruk lumpur sedimentasi untuk mengurangi genangan banjir di Bandung Selatan. Tahap pertama 1994-1999, proyek BBWS mengeruk 2-3 juta meter kubik dan tahap kedua 1999-2008 juga mengeruk 2-3 juta meter kubik.
“Padahal Citarum mengalirkan sedimen sekitar 10 juta meter kubik pertahun,” ujar Anang Sudarna, Staf Ahli Gubernur Jawa Barat. Sebanyak 4,1 juta meter kubik lumpur dan sampah itu masuk Waduk Saguling. Namun hingga kini tidak ada instansi atau pihak yang menangani perusakan dan pencemaran Citarum. “Selama Citarum masih berair walaupun tercemar hebat, itu dianggap biasa,” sindir guru besar lingkungan Institut Teknologi Bandung, Mubyar Purwasasmita.
Menurut data Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten, di DAS Citarum terdapat 158.174 hektar hutan negara (22 persen), 137.298 hektar hutan Perhutani (19 persen), Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan 55.446 hektar (8 persen) dan tanah milik masyarakat 560.094 hektar. Dari semua itu lahan konservasinya hanya tiga persen.
“Sekarang banyak lahan hutan yang sudah tidak ada pohonnya,” ungkap Sobirin, anggota Dewan Pemerhati Kawasan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). DPKLTS yang menggeluti soal lingkungan dipimpin, mantan Sekretaris Pengedalian Operasi Pembangunan (Sekdalopbang), Solihin GP.
Ahli lingkungan dari Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran Erri Megantara mengungkapkan, tercemarnya Sungai Citarum membuat fungsi yang dimilikinya makin kecil bahkan tidak ada. Jika airnya dimanfaatkan, misalnya bisa menyebabkan gatal.
Sejumlah perguruan tinggi, aktivis lingkungan dan para pihak yang peduli Citarum sudah berkali-kali melaporkan soal ini, tapi tidak ada yang dengar. Citarum dibiarkan rusak karena terus dijadikan tempat pembuangan berbagai limbah oleh semua lapisan masyarakat termasuk industri, rumah sakit, dan penduduk.
"Padahal untuk pertanian juga tidak baik, apalagi bila air tersebut mengandung logam berat, terlebih lagi untuk perikanan karena bisa mengurangi kualitas ikan," tutur Erri.
Malah di hilir, kini usaha tambak udang sudah lama gulung tikar karena air Citarum mematikan udang. “Tidak hanya udang windu, udang alam pun seperti udang bago dan udang peci, langsung mati bila dialiri air Citarum,” ungkap Tarman (48) petani di Desa Tanjungpakis, Kabupaten Karawang.
Di kawasan hilir Citarum yang masuk wilayah Kabupaten Karawang dan Bekasi terdapat puluhan ribu tambak. Ikan budi daya yang bisa bertahan terhadap air tercemar racun kimia itu hanyalah bandeng.
Ikan-ikan itu dipasarkan oleh petambak ke Kalibaru dan Cilincing, Jakarta Utara untuk kebutuhan konsumsi warga Jakarta dan sekitarnya. Asisten analis hidrologi Badan Pengelola Waduk Cirata Tuarso menyarankan, jika memakan ikan sebaiknya tidak makan kepalanya.
AIR LIMBAH yang MENYEBALKAN
Gosok Gigi Pun Memakai Air Berlimbah
Kompas/Agus Susanto Warga menjaring ikan di pertemuan lumpur yang mengalir di Sungai Citarum yang membelah Desa Cihea, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
BANDUNG, — Rohimah (45) tanpa khawatir menggosok giginya dari air yang mengalir melalui tong sebagai wadah penampungan. Seusai membilas mulutnya, Rohimah langsung mencuci tumpukan piring dan gelas yang bertumpuk di sebelahnya.
Rohimah dan keluarganya tak sendirian memanfaatkan aliran Sungai Citarum. Setidaknya 20 keluarga lain di RW 10 di Desa Sukamaju, Majalaya, yang tinggal di sekitar sumur itu terpaksa berhadapan langsung dengan air yang telah tercemar sejak belasan tahun lalu.
Tak ada sistem penyaring air yang mampu menjernihkan atau membunuh kuman. Hanya tumpukan ijuk sebelum masuk ke sumur ditambah kaus kaki bekas yang dipasang di ujung keran untuk menyaring air.
Warga tahu betul air yang mereka gunakan tak baik untuk kesehatan. Kemiskinan yang membuat mereka tak mampu membeli air bersih. "Kami terpaksa, mau bagaimana lagi. Air bersih harganya Rp 3.000 per jeriken. Kami cuma mampu beli buat air minum aja," kata Jajang (40), warga RT 02, ketika ditemui Kompas.com beberapa waktu lalu.
Jajang mengatakan, hampir semua warga mengalami gatal-gatal. Kondisi memprihatinkan dialami anak-anak. Di beberapa bagian tubuh mereka bentol-bentol dan meninggalkan bercak hitam.
"Pakaian cepet kucel warnanya. Cuci piring, piringnya jadi kuning," kata Ali (30), warga lain. "Itu kalau kaus kaki dibuka, isinya numpuk kotoran semua," timpal Jajang sambil menunjuk arah keran.
Warga yang memiliki sumur bor bernasib lebih baik lantaran bisa menikmati air Citarum yang layak. Seperti Agus Kusnadi (40) membuat kolam penampungan di halaman rumahnya. Kolam berukuran 1 x 3 meter itu dialiri air Sungai Ciwalengke melalui pipa. Air dalam kolam secara perlahan meresap ke dalam tanah.
Kolam itu juga dijadikan tempat untuk ternak ikan lele. "Air itu nanti meresap ke bawah. Sampai di bawah sudah bersih, enggak bau. Air sungai bau sekali kalau lagi kemarau," kata pria yang telah 16 tahun memanfaatkan kolam penampungan itu.
Limbah dibuang
Pantauan Kompas.com, Sungai Citarum telah tercemar sejak di hulu. Tujuh ratus meter dari sumber mata air di Situ Cisanti di Kecamatan Kertasari, Bandung Selatan, air langsung dicemari kotoran sapi perah. Kotoran dari 5.000-an sapi langsung dibuang peternak ke selokan yang mengalir ke sungai. Untuk diketahui, setiap ekor mengeluarkan kotoran 10 kilogram sampai 20 kilogram.
Belum lagi limbah rumah tangga mulai dari hulu. Pencemaran yang jauh lebih berbahaya adalah limbah industri tekstil di sekitar Majalaya. Pabrik terang-terangan membuang sisa celupan tekstil berbagai warna ke anak-anak Sungai Citarum. Aliran air tampak berwarna merah, kuning, hijau, coklat, hingga hitam pekat.
Fahtoni, aktivis LSM Elemen Lingkungan (Elingan), mengatakan, tak hanya limbah tekstil yang dibuang pabrik di Majalaya, limbah sisa bahan bakar batu bara ikut dibuang ke sungai. "Dulu pabrik masih pakai pewarna alami, tetapi sekarang sudah pakai pewarna buatan. Akibatnya, ya, ke warga," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar