Laman Oaseimani.com
Tue, Aug 16, 2011
Tajribah
Dalam hidup ini, Allah pasti jumpakan kita dengan orang-orang yang luar biasa. Kalau kita tidak bisa mengeja tarbiyah-Nya, itu murni karena kekurangpekaan kita, atau kita malah sudah mati rasa sehingga tidak bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang ada disekitaran kita. “Fa`tabirû yâ ulî l-abshâr.”Karenanya, belajar dari episode kehidupan di sekeliling kita adalah sebuah kemustian agar kita menjadi lebih baik, dari waktu ke waktu.
Semoga kisah-kisah berikut ini bermanfaat :
Siang itu, ada sms yang masuk, “Akh, ana minta dijemput di masjid al Karim, -Pabelan.”
Mendapatkan sms dari seorang teman yang baru selesai dari acara outbondnya, aku langsung menuju tempat yang dimaksud. Sesampainya di sana, aku tidak mendapati temanku. Langsung saja aku balik kirim sms, “Antum dimana? Sudah sampai mana?”
Beberapa detik kemudian, ada jawaban yang muncul di layar hape K310-ku, “Ana masih di perjalanan. Kira-kira seperempat jam lagi.” Ah, berarti aku harus menunggu dulu. Kenapa tidak memberitahu bahwa ia belum sampai masjid ini, dan memberi keterangan sampai seperempat jam kemudian. But, no problem lah. Akhirnya, masa menunggu itu aku pergunakan untuk beristirahat dengan merebahkan tubuhku di atas lantai masjid bagian depan.
Ketika tengah merebahkan badan, ada seorang ibu yang tengah melewati pintu gerbang masjid. Ia berpakaian kumal, tertambal sana-sini tidak karuan. Kelelahan tersirat jelas dari raut wajahnya karena berjalan tanpa tujuan. Ia pun tampak kelaparan. Entah berapa kali ia tidak makan. Melihatku, ia beranikan diri meminta. Dari jarak sekitar 4 meter itu –jarak gerbang dengan serambi masjid-, ia menengadahkan tangannya, dan berkata memelas, “Mas, minta uangnya.” Langsung. Polos. Tanpa basa-basi.
Sejenak aku mengamatinya, dan memintanya untuk mendatangi tempatku berbaring. Ia mendekat, dan aku bangkit dari tidurku kemudian merogoh kantong. Kuberi uang dua lembar seribuan. Hanya 2000 rupiah. Seperti biasa, ia berucap terima kasih. Tetapi ada yang istimewa dari sekedar terima kasihnya. Ternyata ia membaca, “Alhamdulillah, subhanalllah.” Sambil melihat-lihat uang dua ribu yang sangat berharga, menurutnya.
Ia memegang erat-erat uang dua ribu itu, dan menimang-nimangnya seolah mendapatkan sesuatu yang diidamkan. Ia terus berucap hamdalah dan tasbih tanpa henti. Bahkan ketika berada di pintu gerbang masjid pun, ia masih menatapku seolah menyiratkan rasa terima kasihnya yang amat sangat. Selain itu, ia juga masih melihat uang dua ribu itu, sembari meletakkan di depan dadanya dan masih berucap, “Alhamdulillah, subhanallah.” Berulang-ulang.
Ucapnya, “Alhamdulillah, subhanallah.” berulang-ulang itu benar-benar menegurku. Dalam hati, kuberucap lirih, “Subhanallah.” Ah, semua orang memang lebih fakih daripada aku…..
Dulu, ada seorang tukang angkut air yang selalu berucap tahmid dan istighfar. Satu waktu mengangkut air, ia berucap tahmid, dan waktu yang lain ia beristighfar. Selalunya begitu. Di tengah aktivitasnya mengangkut itu, ada seorang ulama` yang memperhatikannya. Dialah Hasan al Bashri, sayyidut tabi’in.
Beliau meminta lelaki itu untuk berkunjung ke rumahnya. Selama di rumah, beliau mengamati lisan tamunya dengan seksama. Ada dzikir yang senantiasa keluar dari lisan tamunya. Beliau takjub dengan kebiasaan lelaki itu, dan hatinya tak bisa menahan untuk tidak bertanya. Tanyanya, “Kalau boleh tahu, sejak kapan anda selalu berucap tahmid dan istighfar setiap kali anda mengangkut air?” “Sudah lama.” Jawabnya. Beliau bertanya lagi, “Kenapa hanya dua kalimat thoyyibah itu saja?” ia menjawab, “Karena kita berada di antara dua hal; nikmat Allah yang harus kita syukuri dengan memuji-Nya, dan kelalaian yang selalu membersamai kita sehingga kita harus memohon ampunan-Nya.” beliau kembali bertanya, “Apa faedah dan manfaat yang kamu dapatkan dengan kebiasaanmu itu?” “Banyak. Tidak ada kebutuhan yang aku inginkan kecuali dikabulkan oleh Allah Ta’ala” jawabnya “Tetapi ada satu permintaan yang sampai saat ini belum diperkenankan.” “Apa itu?” Tanya Hasan al Bashri penasaran. Lelaki itu menjawab, “Aku belum pernah bertemu dengan orang yang kukagumi, Hasan al Bashri.”
Hasan al Bashri langsung memeluknya, dan memberitahukan bahwa beliaulah yang selama ini dicari-carinya. Lelaki itu terkejut, dan tak henti-henti memanjatkan puji syukur kepada Allah Ta’ala. Allah telah mengabulkan semua pintanya. Subhanallah. Dan ketika lelaki itu pulang, Hasan al Bashri tertegun, dan berkata, “Ah, semua orang lebih fakih dari Hasan, semua orang lebih fakih dari Hasan.”
Dalam kisah yang lain, tersebut sebuah kisah singkat tetapi mengandung pelajaran berharga. Umar bin Khattab radhiyallahu `anhu, khalifah kaum muslimin ke-dua, mendengarkan sebuah lantunan doa yang dipanjatkan oleh salah seorang rakyatnya. Doanya, “Ya Allah, jadikanlah aku golongan yang sedikit… Ya Allah, jadikanlah aku golongan yang sedikit…” begitu terus, berulang-ulang hingga Umar bin Khattab bosan mendengarnya. Beliaupun bertanya dengan suara keras, “Wahai hamba Allah, apa yang kamu maksudkan dengan doamu, “Ya Allah, jadikanlah aku golongan yang sedikit?” lelaki itu menjawab, “Aku ingin dimasukkan Allah menjadi golongan yang sedikit, karena Dia pernah berfirman, “Wa qalîlun min `ibadiya s-syakûr.” Dan memuji orang yang beriman, “Wa mâ âmana ma`ahu illâ qalîl.” Begitulah, aku ingin dimasukkan sebagai golongan yang sedikit yang dipuji oleh Allah.” Umar terdiam, dan pergi dengan berlinang airmata sembari berkata, “Kullu ahadin afqahu min Umar, Ah, semua orang lebih fakih dari Umar, semua orang lebih fakih dari Umar.”
Saudaraku…, dalam mengarungi episode hidup ini, kita akan dipertemukan Allah dengan orang-orang yang memiliki amalan yang mungkin tidak kita miliki. Ada amal-amal andalan yang mereka punya. Seperti halnya rizki, dimana semua orang diberi sesuai dengan ketentuan Dzat yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi, maka begitu pula dengan amal. Masing-masing sudah ditakdirkan memiliki amalan-amalan yang menjadi kelebihan mereka. Ada yang Allah mudahkan menjaga shalat berjama`ah dan shalat sunah rawatibnya, ada yang Allah mudahkan melaksanakan shalat malam, ada yang Allah mudahkan menangis karena Allah semata lantaran teringat semua dosa-dosa-nya hingga seolah-olah dosa seluruh manusia dibebankan kepadanya, ada yang Allah mudahkan bersedekah, ada yang Allah mudahkan berdzikir sepanjang waktunya, ada yang Allah mudahkan berbagi dengan orang lain, dan kemudahan-kemudahan dalam amal yang lainnya.
Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam adz Dzahabi dalam Siyaru A`lami n-Nubala` : VIII/116, berkata,
“Sesungguhnya Allah membagi amal perbuatan sebagaimana Allah membagi-bagi rezeki. Terkadang seorang dibuka pintu hatinya untuk banyak shalat, namun tidak dibukakan pintu hatinya untuk shaum. Yang lainnya dibukakan pintu hatinya untuk banyak bersedekah, namun tidak dibukakan pintu hatinya untuk banyak shaum. Ada juga orang yang dibukakan pintu hatinya untuk berjihad. Sementara menyebarkan ilmu adalah amal kebajikan yang paling utama, dan aku sudah merasa senang dengan dibukakannya pintu hatiku dalam hal itu.”
Dari sinilah, kita harus sadar diri; jangan ada anggapan bahwa diri kita lebih baik dari orang lain, hatta kepada orang yang kita anggap tak berpendidikan sekalipun, pun begitu juga kepada orang banci. Ada pesan indah dari Sirri as Saqathi yang diabadikan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab monumentalnya, Shifatus shafwah. (Huem, maraji` andalan nieh ^_^).
جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ نَصِيْرٍ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ الْجُنَيْدَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ السِّرِّيَّ قَالَ : مَا أَرَى لِيْ عَلَى أَحَدٍ فَضْلًا قِيْلَ : وَلَا عَلَى الْمُخْنِثِيْنَ؟ قَالَ : وَلَا عَلَى الْمُخْنِثِيْنَ
Ja’far bin Muhammad bin Bashir berkata, Aku mendengar Junaid berkata, Aku mendengar Sari berkata, “Aku tidak pernah berpendapat bahwa aku memiliki keutamaan atas orang lain.” Ada yang bertanya, “Tidak juga atas orang-orang yang banci.” Beliau menjawab, “Tidak juga atas orang-orang yang banci.”
Karena, menganggap diri lebih baik dari orang lain, dan mengangap ada orang yang lebih buruk darinya adalah kesombongan. Nasehat Abu Yazid al Busthami, yang juga disebutkan oelh Ibnul Jauzi dalam kitab yang sama, Shifatus shafwah, perlu kita renungkan bersama,
وَقَالَ أَبُوْ يَزِيْدٍ: مَا دَامَ الْعَبْدُ يَظُنُّ أَنَّ فِي الْخَلْقِ مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنْهُ فَهُوَ مُتَكَبِّرٌ.
Abu Yazid berkata, “Selama seorang hamba menganggap bahwa ada orang yang lebih buruk daripada dirinya maka ia adalah orang yang sombong.”
“Kullu ahadin afqahu min ikhwanuddin, Ah, semua orang lebih fakih daripada aku….”
Wallahu a`lam.
Salam ukhuwah dari akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari el `Afifi.
kunjungan balik,
BalasHapus=)
makasi kunjungan baliknya.....
Hapus